Sabtu, 18 Oktober 2008

Bagi dunia kau hanya seseorang, tapi bagi seseorang kau adalah dunianya..!!!

Seperti biasa Andrew, Kepala Cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9 malam.
Tidak seperti biasanya, Sarah, putri pertamanya yang baru duduk di kelas tiga SD membukakan pintu untuknya.
Nampaknya ia sudah menunggu cukup lama.

"Kok, belum tidur ?" sapa Andrew sambil mencium anaknya.
Biasanya Sarah memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari.
Sambil membuntuti sang Papa menuju ruang keluarga, Sarah menjawab, "Aku nunggu Papa pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Papa ?"

"Lho tumben, kok nanya gaji Papa ? Mau minta uang lagi, ya ?"
"Ah, enggak. Pengen tahu aja" ucap Sarah singkat.
"Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Papa bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp. 400.000,-.
Setiap bulan rata-rata dihitung 22 hari kerja.
Sabtu dan Minggu libur, kadang Sabtu Papa masih lembur. Jadi, gaji Papa dalam satu bulan berapa, hayo ?"

Sarah berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar sementara Papanya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Andrew beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Sarah berlari mengikutinya. "Kalo satu hari Papa dibayar Rp. 400.000,-untuk 10 jam, berarti satu jam Papa digaji Rp. 40.000,- dong" katanya.

"Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, tidur" perintah Andrew. Tetapi Sarah tidak beranjak.
Sambil menyaksikan Papanya berganti pakaian,Sarah kembali bertanya,

"Papa, aku boleh pinjam uang Rp. 5.000,- enggak ?"

"Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini ?Papa capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah".

"Tapi Papa..."
Kesabaran Andrew pun habis. "Papa bilang tidur !" hardiknya mengejutkan Sarah.

Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya.
Usai mandi, Andrew nampak menyesali hardiknya. Ia pun menengok Sarah di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Sarah didapati sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp. 15.000,- di tangannya.
Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Andrew berkata,

"Maafkan Papa, Nak, Papa sayang sama Sarah. Tapi buat apa sih minta uang malam-malam begini ? Kalau mau beli mainan, besok kan bisa.
Jangankan Rp.5.000,- lebih dari itu pun Papa kasih" jawab Andrew

"Papa, aku enggak minta uang. Aku hanya pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini".

"lya, iya, tapi buat apa ?" tanya Andrew lembut.

"Aku menunggu Papa dari jam 8. Aku mau ajak Papa main ular tangga. Tiga puluh menit aja. Mama sering bilang kalo waktu Papa itu sangat berharga. Jadi, aku mau ganti waktu Papa. Aku buka tabunganku,
hanya ada Rp.15.000,- tapi karena Papa bilang satu jam Papa dibayar Rp. 40.000,- maka setengah jam aku harus ganti Rp. 20.000,-.
Tapi duit tabunganku kurang Rp.5.000, makanya aku mau pinjam dari Papa" kata Sarah polos.

Andrew pun terdiam. ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat dengan perasaan haru. Dia baru menyadari, ternyata limpahan harta yang dia berikan selama ini, tidak cukup untuk "membeli" kebahagiaan anaknya.

Selasa, 07 Oktober 2008

Balada Pembantu Rumah Tangga

Balada Pembantu: Mereka Mudik Kita Mendelik, Mereka Tak Balik Kita Panik

Menebak kemauan mereka --mau balik atau tidak lagi-- pada saat-saat semacam ini adalah hal paling sulit. Baju-baju di lemari sudah kosong semuanya. Barang-barang dibawa semuanya tak ada yang tersisa. Seluruh harta mereka --yang umumnya memang cuma baju-baju-- sudah bersih. Kalaupun bilang mau balik, mereka bisa dipastikan tak tepat janji. Disuruh balik tanggal 7 molor sampai tanggal 17. Disuruh balik hari Minggu, mengabari kalau mundur hingga seminggu. Sulit menebak kemauan mereka.

Sama sulitnya di mata mereka saat harus melayani kita-kita di hari-hari normal. Sudah jam 10 malam, kita minta dibuatkan indomi atau kopi, padahal mereka harus bangun jam setengah lima pagi. Statusnya di keluarga kita bukan siapa-siapa sehingga ia tak layak dimasukkan dalam daftar kartu keluarga. Bila ada razia kependudukan, ia kita sembunyikan karena daftar kartu keluarga tak menyebut namanya.

Hati kita saat-saat sekarang ini gelisah luar biasa. Hari Senin sudah kembali bekerja, sementara anak-anak tak mungkin ditinggal sendirian. Kegelisahan kita, barangkali sama seperti kegelisahan mereka saat mereka ketahuan menggunakan telepon rumah tanpa permisi atau mengambil jatah makan favorit anak-anak. Dan karena urusan yang nilainya tak lebih dari 10 ribu perak mungkin, mereka gelisah berkeringat dingin karena menunggu maki-makian kita.

Hari-hari ini kita ketakutan luar biasa karena belum juga menemukan jalan keluar menghadapi Senin besok. Sama seperti ketakutan para pembantu kita saat ia melubangi baju kesayangan kita dengan setrika yang lupa dicabut gara-gara anak kita rewelnya minta ampun hari itu. Padahal baju itu barangkali juga sudah waktunya diwariskan kepada para pembantu.

Senin sudah dekat. Liburan bakal segera lewat. Kita masih dilanda amarah yang tak tahu hendak dilampiaskan kepada siapa. Amarah kita kali ini tak menemukan jalan keluarnya. Sama seperti para pembantu itu, yang amarahnya hampir selalu tak menemukan lorong keluar, ketika ia kita tuduh mengambil uang di dompet padahal tangan Anda sendirilah yang mengambilnya atau ingatan kitalah yang mengkhianati kita sehingga jumlahnya berselisih beberapa puluh ribu.

Kita saat ini letih luar biasa setelah seminggu mereka pulang kampung, dan selama seminggu itu pula kitalah yang mesti melakukan pekerjaan-pekerjaan para pembantu itu. Sementara mereka melakukannya hampir 360 hari tanpa mengeluh dan meskipun letih dan lelah tak punya tempat atau waktu untuk mengistirahatkan badan dan jiwanya.

Seminggu ini kita mengomeli istri karena masakannya terlalu asin atau kurang manis. Seminggu ini kita mengomeli suami karena mereka tak mau mengerti dan membantu membersihkan rumah dan mencuci baju. Seminggu ini, semua sudut rumah berantakan seperti kapal pecah kecuali kamar pembantu yang mereka rapikan dan tata baik-baik sebelum pulang kampung. Seminggu ini, dunia seperti terbalik. Di hari-hari biasa 51 minggu lamanya, rumah kita bersih dan rapi lantaran dikerjakan para pembantu, sampai-sampai mereka tak cukup punya waktu untuk membersihkan kamar mereka sendiri.

Seminggu ini, pengeluaran kita membengkak luar biasa karena kita malas memasak dan lebih memilih memesan makanan dari luar atau pergi keluar mencari makan. Pengeluaran kita seminggu ini, mungkin tiga atau empat kali lipat gaji pembantu yang mereka terima setiap bulan. Sekali makan atau sekali keluar rumah, kita habiskan seratus, dua ratus, tiga ratus sampai lima ratus ribu atau bahkan lebih dari sejuta. Sementara kita terlalu sayang untuk menambahkan barang 25 atau 50 ribu bonus buat pembantu atas gaji mereka yang paling-paling cuma 400 atau 500 ribu sebulan.

Tiba-tiba... ..
Entah dari mana, datanglah pembantu baru. Dan kita perlakukan mereka sama seperti yang sudah-sudah. Bahkan si mbak yang baru ini menjadi korban dari kepenatan, kekesalan, kecapekan, kemarahan, dan kegelisahan kita karena kelakuan mbak yang sebelumnya yang harus kita lakoni seminggu ini.

Kita lupa, pembantu itu tugasnya ya membantu. Bukan melakukan atau mengerjakan yang pokok. Kita alpa, pembantu itu tak berarti membantu ini itu, membantu segalanya, membantu kapan saja, membantu apa saja, membantu siapa saja di rumah kita.

Nuwun..